16 April 2016

Ingin anak BerPrestasi??? Jangan terlalu diikutkan lomba >>

Inilah alasanya....
Banyak orangtua ingin anaknya berprestasi, kemudian berlomba-lomba mengikutkan anaknya ikut lomba. Tanpa sadar bahwa semakin banyak lomba semakin besar dampak negatifnya.
Berprestasi mungkin jadi impian banyak orangtua terhadap anaknya. Siapa sih orangtua yang tidak ingin anaknya berprestasi? Besarnya hasrat membuat banyak orangtua dan sekolah memilih ukuran berprestasi yang mudah diukur. Jadi juara dan dapat piala yang untuk mendapatkannya anak harus mengikuti suatu lomba. Lemari penuh piala adalah tanda kebanggaan.

Tapi tahukah anda bahwa ikut lomba, jadi juara dan dapat piala BUKAN ukuran berprestasi? Tahukah anda bahwa ikut lomba justru berdampak negatif pada anak?

Saya akan mengajak anda pada suatu siang ketika saya berjumpa seorang teman yang menceritakan pengalamannya. Ia dulu rajin mendaftarkan dan mengantarkan anaknya untuk ikut lomba menggambar. Sebagaimana kebanyakan orangtua, ia meyakini bahwa lomba membuat anak semangat berlatih. Semakin berlatih, semakin mahir anak, semakin berprestasi.

Sampai suatu hari ia mendapati anaknya sedang membongkar tumpukan majalah di gudang di rumahnya. Sang anak memeriksa satu per satu majalah anak seakan mengincar satu edisi yang berharga. Ia penasaran dan bertanya pada sang anak. Alangkah terkejutnya ia mendapat jawaban dari anaknya bahwa ia mencari edisi majalah anak yang mengumumkan pemenang lomba menggambar pada tahun lalu.

Buat apa anak itu mencari majalah yang terbit tahun lalu? Ya, anak itu ingin melihat gambar macam apa yang dimenangkan oleh tim juri. Ia ingin mempelajari gambar tersebut dan berusaha menggambar seperti gambar pemenang tahun lalu itu.

Teman saya terhenyak mendengar jawaban sang anak. Tidak terbayang sedikitpun di benaknya bahwa upayanya mengikutkan anak ke lomba menggambar justru membuat anak tidak percaya diri dengan kemampuannya. Bukannya menunjukkan keunikan dirinya, tapi justru menjiplak gambar anak lain. Suatu dampak yang tidak pernah disangkanya. Sejak itu, ia tidak pernah lagi mengikutkan anak ke lomba menggambar maupun lomba yang lain.

Cerita itu kisah nyata. Kisah itu mungkin bukan satu-satunya, ada banyak kisah serupa di masyarakat kita yang kecanduan lomba. Apakah dampak negatif lomba hanya kebetulan atau memang menjadi dampak yang menetap?

Keyakinan terhadap kompetisi dalam dunia pendidikan di tingkat global terbagi dua. Negara yang percaya pada kompetisi vs negara yang percaya kolaborasi.

Negara yang meyakini kompetisi terlihat dari banyaknya kegiatan lomba dan olimpiade sains yang bisa diikuti oleh anak-anaknya. Jumlah medali dari olimpiade sains menjadi ukuran prestasi suatu negara. Tak heran bila mereka  mengirim sebanyak mungkin anak untuk mengikuti olimpiade sains. Semakin banyak anak yang ikut semakin besar peluang suatu negara mendapat medali.

Sebaliknya dengan negara yang percaya kolaborasi. Mereka justru mengabaikan perlombaan dan olimpiade sains. Mereka lebih banyak menstimulasi anak-anaknya dengan aktivitas yang menuntut kemampuan berkolaborasi. Bila ada persaingan jumlah medali olimpiade sains, mereka pasti kalah telak.

Kompetisi pada harga diri anak ibarat gula pada gigi. Seperti semakin banyak gula maka semakin rusak gigi, begitu pula dengan kompetisi, semakin banyak diikuti semakin merusak harga diri anak. Kompetisi membuat anak melakukan evaluasi terhadap kemampuan dirinya berdasarkan sumber eksternal, anak lain atau peserta kompetisi yang lain. Semakin banyak lawan yang dikalahkan, semakin besar harga diri anak. Menjadi baik tidak cukup, bila tidak mengalahkan semua lawan.
Anak-anak sukses ketika mengatasi kompetisi, bukan karena kompetisi. Banyak orang meyakini bahwa kita melakukan yang terbaik ketika berada dalam sebuah kompetisi. Tanpa kompetisi, kita menjadi orang yang malas, sedang-sedang saja, atau asal berusaha. Itu adalah pandangan palsu karena kita terjebak melakukan penilaian diri hanya dari sumber eksternal.
David Johnson, seorang profesor psikologi sosial di Universitas Minnesota mengkaji semua riset dengan topik kompetisi yang dilakukan sejak 1924 hingga 1980. Enam puluh lima studi membuktikan bahwa anak-anak belajar lebih baik ketika berada dalam lingkungan yang kooperatif dibandingkan yang kompetitif, delapan studi membuktikan sebaliknya dan 36 studi menemukan tidak ada perbedaan antara keduanya. Masih percaya kompetisi membuat anak semangat belajar?

 sumber >> Teman Kita


No comments: