Inilah alasanya....
Kompetisi pada harga diri anak ibarat gula pada gigi.
Seperti semakin banyak gula maka semakin rusak gigi, begitu pula dengan
kompetisi, semakin banyak diikuti semakin merusak harga diri anak.
Kompetisi membuat anak melakukan evaluasi terhadap kemampuan dirinya
berdasarkan sumber eksternal, anak lain atau peserta kompetisi yang
lain. Semakin banyak lawan yang dikalahkan, semakin besar harga diri
anak. Menjadi baik tidak cukup, bila tidak mengalahkan semua lawan.
Anak-anak sukses ketika mengatasi kompetisi, bukan karena kompetisi. Banyak orang meyakini bahwa kita melakukan yang terbaik ketika berada dalam sebuah kompetisi. Tanpa kompetisi, kita menjadi orang yang malas, sedang-sedang saja, atau asal berusaha. Itu adalah pandangan palsu karena kita terjebak melakukan penilaian diri hanya dari sumber eksternal.
David Johnson, seorang profesor psikologi sosial di Universitas Minnesota mengkaji semua riset dengan topik kompetisi yang dilakukan sejak 1924 hingga 1980. Enam puluh lima studi membuktikan bahwa anak-anak belajar lebih baik ketika berada dalam lingkungan yang kooperatif dibandingkan yang kompetitif, delapan studi membuktikan sebaliknya dan 36 studi menemukan tidak ada perbedaan antara keduanya. Masih percaya kompetisi membuat anak semangat belajar?
Banyak orangtua ingin anaknya berprestasi, kemudian berlomba-lomba mengikutkan anaknya ikut lomba. Tanpa sadar bahwa semakin banyak lomba semakin besar dampak negatifnya.
Berprestasi mungkin jadi impian banyak orangtua terhadap anaknya.
Siapa sih orangtua yang tidak ingin anaknya berprestasi? Besarnya hasrat
membuat banyak orangtua dan sekolah memilih ukuran berprestasi yang
mudah diukur. Jadi juara dan dapat piala yang untuk mendapatkannya anak
harus mengikuti suatu lomba. Lemari penuh piala adalah tanda kebanggaan.
Tapi tahukah anda bahwa ikut lomba, jadi juara dan dapat
piala BUKAN ukuran berprestasi? Tahukah anda bahwa ikut lomba justru
berdampak negatif pada anak?
Saya akan mengajak anda pada suatu siang ketika saya berjumpa seorang
teman yang menceritakan pengalamannya. Ia dulu rajin mendaftarkan dan
mengantarkan anaknya untuk ikut lomba menggambar. Sebagaimana kebanyakan
orangtua, ia meyakini bahwa lomba membuat anak semangat berlatih.
Semakin berlatih, semakin mahir anak, semakin berprestasi.
Sampai suatu hari ia mendapati anaknya sedang membongkar tumpukan
majalah di gudang di rumahnya. Sang anak memeriksa satu per satu majalah
anak seakan mengincar satu edisi yang berharga. Ia penasaran dan
bertanya pada sang anak. Alangkah terkejutnya ia mendapat jawaban dari
anaknya bahwa ia mencari edisi majalah anak yang mengumumkan pemenang
lomba menggambar pada tahun lalu.
Buat apa anak itu mencari majalah yang terbit tahun lalu? Ya, anak
itu ingin melihat gambar macam apa yang dimenangkan oleh tim juri. Ia
ingin mempelajari gambar tersebut dan berusaha menggambar seperti gambar
pemenang tahun lalu itu.
Teman saya terhenyak mendengar jawaban sang anak. Tidak terbayang
sedikitpun di benaknya bahwa upayanya mengikutkan anak ke lomba
menggambar justru membuat anak tidak percaya diri dengan kemampuannya.
Bukannya menunjukkan keunikan dirinya, tapi justru menjiplak gambar anak
lain. Suatu dampak yang tidak pernah disangkanya. Sejak itu, ia tidak
pernah lagi mengikutkan anak ke lomba menggambar maupun lomba yang lain.
Cerita itu kisah nyata. Kisah itu mungkin bukan satu-satunya, ada
banyak kisah serupa di masyarakat kita yang kecanduan lomba. Apakah
dampak negatif lomba hanya kebetulan atau memang menjadi dampak yang
menetap?
Keyakinan terhadap kompetisi dalam dunia pendidikan di tingkat global
terbagi dua. Negara yang percaya pada kompetisi vs negara yang percaya
kolaborasi.
Negara yang meyakini kompetisi terlihat dari banyaknya kegiatan lomba
dan olimpiade sains yang bisa diikuti oleh anak-anaknya. Jumlah medali
dari olimpiade sains menjadi ukuran prestasi suatu negara. Tak heran
bila mereka mengirim sebanyak mungkin anak untuk mengikuti olimpiade
sains. Semakin banyak anak yang ikut semakin besar peluang suatu negara
mendapat medali.
Sebaliknya dengan negara yang percaya kolaborasi. Mereka justru
mengabaikan perlombaan dan olimpiade sains. Mereka lebih banyak
menstimulasi anak-anaknya dengan aktivitas yang menuntut kemampuan
berkolaborasi. Bila ada persaingan jumlah medali olimpiade sains, mereka
pasti kalah telak.
Anak-anak sukses ketika mengatasi kompetisi, bukan karena kompetisi. Banyak orang meyakini bahwa kita melakukan yang terbaik ketika berada dalam sebuah kompetisi. Tanpa kompetisi, kita menjadi orang yang malas, sedang-sedang saja, atau asal berusaha. Itu adalah pandangan palsu karena kita terjebak melakukan penilaian diri hanya dari sumber eksternal.
David Johnson, seorang profesor psikologi sosial di Universitas Minnesota mengkaji semua riset dengan topik kompetisi yang dilakukan sejak 1924 hingga 1980. Enam puluh lima studi membuktikan bahwa anak-anak belajar lebih baik ketika berada dalam lingkungan yang kooperatif dibandingkan yang kompetitif, delapan studi membuktikan sebaliknya dan 36 studi menemukan tidak ada perbedaan antara keduanya. Masih percaya kompetisi membuat anak semangat belajar?
sumber >> Teman Kita
No comments:
Post a Comment